Sabtu, 04 Oktober 2008

IKHLAS BERAMAL DAN KEIMANAN

MAKALAH
HADITS
 “IKHLAS BERAMAL DAN KEIMANAN”

 







DI SUSUN OLEH :

A. SHOLIHIN MUTTAQIN
NIM. UT. 060741


DOSEN PENGAJAR :

Drs. KHALILULLAH, M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2008


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, berkat rahmat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini dibuat sejalan dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah “Hadits II” yang berjudul “Ikhlas Beramal dan Keimanan” dengan tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan mahasiswa dalam bidang media pembelajaran.
Kami menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, Kami sangat menerima kritik dan saran dari Dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang bersifat membangun guna perbaikan kualitas makalah ini dan supaya sesuai dengan apa yang kita harapkan.Semoga makalah ini bisa bermamfaat dan membantu para mahasiswa, khususnya di Fakultas Ushuluddin sehingga kita bisa memahami materi perkuliahan yang diberikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, 15 Mei 2008

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………….…………………………………………………… i
DAFTAR ISI           ……………………………………………………...……….….…… ii
BAB I PENDAHULUAN 
A.   Latar Belakang ………………………………..………………..…….…….1
B.   Pokok Masalah ………………………………………..……………………1
BAB II PEMBAHASAN
A.   Ikhlas Beramal (RS : 1) ………………………………………………….. 2
B.   Keimanan (LL : 22) … …………....……………………………………… 4
C.   Keimanan (LL : 36) …………………….………………………………….6
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan …………………………….…………………………………10
  2. Saran …………………………………………………………………….. 10
DAFTAR PUSTAKA ............……………………………………………...........11



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-Quran dan Sunnah merupakan dasar yang paling pokok dalam agama Islam. Sunnah atau al-Hadits ialah segala perkataan, perbuatan dan penetapan dari Rasulullah SAW. Percaya kepada Rasulullah termasuk kedalam rukun Iman, maka wajib hukumnya untuk mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Sedangkan orang yang telah menolak hadits Rasulullah SAW merupakan orang-orang yang celaka dan disebut sebagai kaum Ingkar as-Sunnah.
Rasulullah semasa hidupnya telah melewati banyak lika-liku kehidupan, baik itu dari segi positif maupun negatif. Dan kaum muslim pada waktu itu sangat menjunjung tinggi kenabian Rasulullah. Dalam pada itu jugalah setiap masalah yang terjadi pada kehidupan sahabat selalu ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW.

B.  Pokok Masalah
Demi terfokusnya pembahasan dalam makalah ini, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Dosen pada mata kuliah Hadits II. Maka, penyusun akan mengetengahkan pembahasan tentang hadits Rasulullah yang berkaitan dengan keimanan dan keikhlasan dalam beramal.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ikhlas Dalam Beramal (RS : 1)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنِ مُسْلِمَةٍ قَالَ اَخْبَرْنَا مَالِكٍ عَنْ يَحْيىَ بْنِ سَعِيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ عَلْقَمَةِ بْنِ وَقَاصٍ عَنْ اَمِيْرِالْمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حَفْصٍ عُمَرَ يْنِ الْخَطَّابِ بِنْ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدُ العُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بِنْ قُرْطِ بِنْ رَزَاحِ بْنِ عَدَىِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَىِّ بْنِ غَالِبِ الْقُرَشِىِّ الْعَدَوِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِ وَمَنْ كَانَ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَاجَرَ اِلَيْهِ (متفق عليه)
Artinya :
Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Muslimah berkata telah bercerita kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Amirul Mukminin Abu Khofsin Umar Bin Khotthob bin Nupail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Aday bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurays Al Adawy RA. Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya segala perbuatan itu berlandaskan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk meraih dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu”. (Muttafaq ‘Alaih)
Niat menurut bahasa artinya bertujuan, sedangkan menurut istilah ialah bertujuan untuk mengerjakan suatu hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat adalah fardhu dalam semua amal ibadah, tempat niat dalam hati, karena itu tidak cukup hanya dengan ucapan saja sedangkan hatinya lalai dan lupa, seperti yang telah ditegaskan oleh hadits di atas. Tujuan utama adanya niat ialah untuk membedakan berbagai macam ibadah antara yang satu dengan yang lainnya, seperti membedakan antara sholat zhuhur dengan sholat ashar atau niat karena Allah dengan tidak karena Allah atau pula yang lainnya.
Niat yang Ikhlash ialah memurnikan ketaatan hanya kepada Allah SWT seakan-akan anda melihat-Nya. Keistimewaan niat, ibadah menjadi sah karenanya dan membedakannya dari kebiasaan. Karena sesungguhnya satu hal yang dikerjakan dengan niat maka ia menjadi ibadah dan tanpa niat menjadi kebiasaan, seperti duduk di dalam masjid dengan niat i’tikaf dianggap sebagai ibadah, tetapi tanpa niat seumpamanya hanya untuk istirahat, dianggap sebagai kebiasaan (adat).[1]
Jadi kalimat yang menyatakan bahwa “Maka barangsiapa yang tujuan hijrahnya untuk meraih dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sebatas apa yang menjadi tujuan hijrahnya itu” bukanlah itu merupakan perbuatan yang mendapatkan pahala dari Allah SWT melainkan mendapatkan hal-hal yang dikehendakinya dalam hal dunia atau apa yang telah diniatkan.

B.  Keimanan (LL : 22)

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ يُوْسُفَ اَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنِ اَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ اْلاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلاِيْمَانِ (متفق عليه)
Artinya :
Dari Abdullah bin Yusuf berkata telah memberitakan kepada kami Malik bin Anas dari Ibn Syihab dan Salim bin Abdillah dari ayahnya sesungguhnya Rasulullah SAW melihat seorang dari golongan Anshor yang menasehati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Biarkanlah, sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. (Muttafaq ‘Alaih)
Nabi SAW mengatakan bahwasanya perasaan malu, yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu suku (bagian) daripada iman.
Sebabnya dikhususkan sebutan malu sebagai suatu cabang iman adalah karena malu inilah yang menarik kita untuk melaksanakan cabang-cabang yang lain lantaran dialah yang membangkitkan kita kepada takut mengalami keaiban di dunia dan keaiban di akhirat. Barangsiapa memperlihatkan makna malu dan memperhatikan sabda-sabda Rasul yang berkenaan dengan dia, maka tentulah orang akan memelihara kepala dan memelihara perut. Orang yang menghendaki akhirat, tentulah meninggalkan hiasan-hiasan dunia dan mengutamakan akhirat atas dunia. Orang yang berbuat demikian, itulah orang yang benar-benar malu kepada Allah. Hadits ini dikenal dengan syu’aibul iman.
Hakikat malu ialah perangai yang mendorong meninggalkan perbuatan buruk dan menegah kita berlaku ceroboh terhadap hak orang lain (hak orang yang mempunyai hak). Malu dari menuturkan kebenaran di hadapan orang yang dimuliakan, dan tidak berani mengerjakan sesuatu yang baik sebenarnya bukan malu. Malu yang semacam ini pada hakikatnya, kelemahan dan rendah diri. Orang yang menaminya malu, secara majaz karena menyerupai malu yang sebenarnya.
Tatkala Nabi mendengar nasihat orang Anshar kepada saudaranya, Nabi berkata: “Janganlah kamu menghalanginya berperasaan malau, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman”. Nabi berkata demikian karena sifat malu menghalangi orang mengerjakan maksiat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan jelek dipandang orang, sebagaimana iman menghalangi manusia dari perbuatan yang dipandang keji oleh manusia. Lantaran itulah Nabi menamakan malu dengan iman. Sungguh pun demikian, tidaklah dapat kita mengatakan bahwa orang yang menghilangkan malu dari dirinya berarti telah meninggalkan iman dari hatinya, karena malu ini adalah dari hal-hal yang menyempurnakan iman. Menurut zhohir hadits, orang Anshar itu benar-benar memandang jelek terhadap saudaranya yang berperasaaan malu. Oleh karena itu Nabi menandaskan dengan sungguh-sungguh, bahwasanya malu adalah sebagian dari iman. Nabi juga menandaskan bahwa kebajikan sajalah yang dihasilkan oleh perasaan malu apabila malu itu ditempatkan pada tempat yang benar.[2]

C.  Keimanan (LL : 36)

حَدَّثَنِى مُحَمَّدِ بْنِ الْمُثَنىَّ حَدَّثَنَا اِبْنُ اَبِى عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ ذَكْوَانَ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (متفق عليه)
Artinya :
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsanna telah bercerita  Ibnu Abu Adi dari Syu’bah dari Sulaiman dari Zakwan dari Abu Hurairah Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : tidak akan berzina  seorang pelacur diwaktu berzina hingga ia sedang beriman. Dan tidak akan minum khomar diwaktu minum hingga ia sedang beriman. Dan tidak akan mencuri seorang pencuri diwaktu mencuri hingga ia sedang beriman. (Muttafaq ‘Alaih)
Kita sama-sama mengetahui bahwa orang yang beriman sudah tentu Islam, dan orang Islam belum tentu beriman. Ini menandakan bahwa iman setiap muslim itu berbeda-beda dan besifat relativ. Dan hal ini juga memberi pengertian bahwa ketika masih ada iman, tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang pezina, peminum dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak melaksankan tuntunan iman.
Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Baththal Al-Maliki dalam Syarah bukhori berkata “Mazhab jamaah Ahlus Sunnah dan golongan salaf dan khalaf, menyatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang”.
Abdur Razzaq berkata “Saya mendengar dari ulama-ulama yang saya jumpai, seperti Sufyan Ats-Tsaury, Malik bin Anas, Ubaidillah bin Umar Al-Auza-y, Ma’mar bin Rasyid, Ibnu Juraij dan Sufyan bin Uyainah berkata : iman adalah ucapan dan perbuatan, kadang bertambah dan berkurang”.
Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, An-Nakha-y, Al-Hasanul Bishri, Thaus, Mujahid dan Abdullah ibnu al-Mubarak. Maka, seseorang berhak mendapat pujian dan wilayah dari para mukmin, adalah karena melaksanakan ketiga-tiga urusan ini, yaitu membenarkan dengan hati, mengakui dengan lidah dan mengerjakan dengan anggota tubuh.[3]
Kaitannya dalam hal ini, di dalam hadits di atas disebutkan bahwa tidak akan berzina seseorang dalam keadaan beriman. Jadi, bisa dikatakan bahwa iman itu bisa timbul dan bisa hilang tergantung dari kita yang menjaganya. Sebagai analogi ada sepotong kisah tentang seseorang muslim yang taat beribadah dan selalu berbuat kebaikan. Pada suatu saat orang ini melihat seorang tukang tenung yang bisa menghilang dari suatu tempat dan timbul di tempat yang lain. Timbul niat dihatinya untuk mempelajari ilmu itu dari si tukang tenung tadi. Ketika bertemu si tukang tenung berkata kepada seorang muslim yang ahli ibadah itu bahwa syarat untuk mempelajari ilmu itu sangatlah berat untuknya yaitu buang air kecil di atas sebuah tumpukan tanah yang berada di tempat kediamannya. Karena memang betul-betul ingin mendapatkan ilmu itu akhirnya muslim tadi buang air kecil di tempat yang telah disebutkan oleh ahli tenung itu. Ketika seorang muslim buang air, tiba-tiba dari kemaluannya keluar sebentuk (sosok) makhluk yang sangat besar. Kemudian ia bertanya kepada si tukang tenung apa yang tadi itu, kemudian ia menjawab yang keluar itu adalah imanmu karena telah percaya kepada perkataanku.
Dari hadits dan analogi di atas sama halnya dengan berbuat maksiat lainnya seperti meminum minuman khomar, mencuri, membunuh dan sebagainya itu tidak dalam keadaan beriman. Karena orang yang beriman adalah orang yang selalu mengerjakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta tidak melaksanakan segala larangan Allah dan Rasul-Nya.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa :
1.    Niat adalah menyengaja untuk mengerjakan suatu hal yang bersamaan dengan pekerjaannya. Hukum niat adalah fardhu dalam semua amal ibadah dan tempat niat adalah di dalam hati.
2.    Malu yaitu suatu “pekerti menjauhi yang buruk, menghalangi membuat kecerobohan dan dari tidak memenuhi hak orang yang mempunyai hak”, adalah suatu bagian daripada iman.
3.    Ketika seseorang masih mempunyai iman, tidaklah ia mau berzina, minum khomar dan mencuri. Dan seorang pezina, peminum dan pencuri itu tidak dinamai mukmin, karena dia tidak melaksankan tuntunan iman.

B.  Saran
Penyusun menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan. Karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Zakaria Yahya bin Syarif An-Nawawy. Riyadus Sholihin. (Indonesia)
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Lu’lu’ Wal Marjan terj. (Surabaya. PT. Bina Ilmu. 2003)
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002)
Syaikh Mansur Ali NAshif.  Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah SAW. (Bandung : Sinar Baru Algensindo. 2003)






[1] Suaikh MAnsur Ali NAhif. Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah, hlm. 108
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, hal. 92-93
[3] Ibid,. hlm. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar